Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Khalifah Umar bin Khattab dan Rakyat Jelata




Khalifah Umar bin Khattab adalah sosok pemimpin teladan yang sangat mengerti kepentingan rakyatnya. Padahal ia sendiri hidup dalam kondisi sangat sederhana.


Pada suatu malam, sudah menjadi kebiasaan Khalifah Umar bin Khattab sering berkeliling mengunjungi, menginvestigasi kondisi rakyatnya dari dekat. Nah, pada suatu malam itu, ia menjumpai sebuah gubuk kecil yang dari dalam terdengar suara tangis anak-anak. Ia pun mendekat dan mencoba memperhatikan dengan seksama keadaan gubuk itu. Ternyata dalam gubuk itu terlihat seorang ibu yang sedang memasak dan dikelilingi oleh anak-anaknya yang masih kecil. Si ibu berkata kepada anak-anaknya, “Tunggulah! Sebentar lagi makanannya matang.” Sang Khalifah memperhatikan dari luar, si ibu terus menerus menenangkan anak-anaknya dan mengulangi perkataannya bahwa makanan yang dimasaknya akan segera matang. Sang Khalifah menjadi sangat penasaran, karena yang dimasak oleh ibu itu tak kunjung matang, padahal sudah lama dia memasaknya.

Akhirnya Khalifah Umar bin Khattab meutuskan untuk menemui ibu itu, “Mengapa anak-anakmu tidak juga berhenti menangis, bu?” Tanya sang Khalifah. “Mereka sangat lapar.” Jawab si ibu. “Kenapa tidak cepat engkau berikan makanan yang dimasak dari tadi itu?” Tanya Khalifah. “Kami tidak ada makanan. Periuk yang dari tadi aku masak hanya berisi batu untuk mendiamkan mereka. Biarlah mereka berfikir bahwa periuk itu berisi makanan, dengan begitu mereka akan berhenti menangis karena kelelahan dan tertidur.” Jawab si ibu.

Setelah mendengar jawaban si ibu, hati sang Khalifah Umar bin Khattab terasa teriris. Lalu Khalifah bertanya kembali, “Apakah ibu sering berbuat demikian setiap hari?” “Iya, saya sudah tidak memiliki keluarga ataupun suami tempat saya bergantung, saya sebatang kara.” Jawab si ibu. Hati sang Khalifah laksana dicopot dari tubuhnya mendengar penuturan itu, hatinya terasa teriris-iris oleh sebilah pisau yang tajam. “Mengapa ibu tidak meminta pertolongan kepada Khalifah supaya ia dapat menolong dengan bantuan uang dari Baitul Mal? Tanya sang Khalifah lagi. “Ia telah zhalim kepada saya.” Jawab si ibu. “Zhalim?” Kata sang Khalifah dengan sedihnya. “Iya, saya sangat menyesalkan pemerintahannya. Seharusnya ia melihat kondisi rakyatnya. Siapa tahu ada banyak orang yang senasib dengan saya.” Kata si ibu. Khalifah Umar bin Khattab kemudian berdiri dan berkata, “Tunggulah sebentar bu ya, saya akan segera kembali.”

Di malam yang semakin larut dan hembusan angin terasa kencang menusuk, sang Khalifah segera bergegas menuju Baitul Mal di Madinah. Ia segera mengangkat sekarung gandum yang besar di pundaknya ditemani oleh sahabatnya Abbas. Sahabatnya membawa minyak samin untuk memasak. Jarak antara Madinah dengan rumah ibu itu terbilang jauh, hingga membuat keringat bercucuran dengan derasnya dari tubuh Khalifah Umar. Melihat hal ini, Abbas berniat menggantikan Khalifah untuk mengangkat karung yang dibawanya itu, tapi sang Khalifah menolak sambil berkata, “Tidak akan kubiarkan engkau membawa dosa-dosaku di akhirat kelak. Biarkan kubawa karung besar ini karena aku merasa sudah begitu bersalah atas apa yang terjadi pada ibu dan anak-anaknya itu.”

Beberapa lama kemudian sampailah Khalifah Umar dan Abbas di gubuk itu. Begitu sekarung gandum dan minyak samin itu diserahkan, bukan main gembiranya mereka. Setelah itu, Khalifah berpesan agar ibu itu menemui Khalifah keesokan harinya untuk mendaftarkan dirinya dan anak-anaknya di Baitul Mal.

Keesokan harinya, ibu dan anak-anaknya pergi untuk menemui Khalifah. Dan betapa sangat terkejutnya si ibu begitu menyaksikan bahwa lelaki yang menolongnya tadi malam adalah Khalifahnya sendiri, Khalifah Umar bin Khattab. Segera saja si ibu meminta maaf atas kekeliruannya yang telah menilai bahwa Khalifahnya zhalim kepadanya. Namun sang Khalifah tetap mengaku bahwa dirinyalah yang telah bersalah.

Post a Comment for "Khalifah Umar bin Khattab dan Rakyat Jelata"